Sepeda Pertama


Bersepeda menjadi pilihan saya ketika penat. Saya sendiri bingung menempatkan sepeda pada fungsi seperti apa. Sebagian untuk hobi, kesehatan dan sebagian lain adalah untuk pelampiasan. Saya tidak punya jadwal rutin dalam bersepeda. Juga tidak ikut organisasi atau perkumpulan sepeda. Soal jarak, bisa kemana saja. Sejauh manapun  dan sekuat saya. Saya bisa saja mengeluarkan sepeda dari garasi pukul 00.00 malam, lalu menggowesnya sejauh mungkin.
Teman pernah mengomentari, “Heh kamu ngapain nyepeda malam-malam sendirian? Galau pa?”
Jawaban tergantung kondisi hati. Akan saya jawab iya jika memang sedang jenuh. Namun tidak jika saya memang ingin gowes.
Kebiasaan bersepeda sebenarnya sudah ada sejak SD. Sepeda mini warna merah adalah sepeda pertama. Sepeda itu pemberian bapak. Dulu saya bersama teman-teman sering bersepeda keliling kampung. Dulu saya tomboy. Hampir semua teman laki-laki pernah bermain ke rumah. Selalu ada saja yang kami lakukan. Sepak bola, basket, badminton, voli, atau nonton film kartun. Teman-teman laki saya berhenti bermain ke rumah ketika bapak marah. Kala itu memang kami keterlaluan. Kami bermain sepak bola di dalam rumah. Membuat gaduh dan mengganggu bapak yang sedang tidur siang. Lalu seperti yang seharusnya terjadi.
Nek do meh dolanan bal-balan nang kono wae (lapangan dekat stasiun). Ora gawe ribut nang kene”, tegas bapak. (Kalau mau bermain sepak bola di sana saja. Jangan bikin gaduh di sini).
Saya masih ingat ekspresi kawan-kawan kala itu. Tegang dan hening. Lalu tanpa pamit, mereka bergegas keluar rumah, naik sepeda dan minggat.
Kembali soal bersepeda. Saat SMP, saya pernah memiliki “ketegangan” tersendiri soal sepeda. Pulang sekolah, saya dan sepeda keliling kampung melewati pasar. Hal yang tidak diinginkan terjadi. Rem sepeda blong, mendadak oleng dan yang paling parah adalah…menabrak motor preman pasar. Sang preman petentang petenteng melihat tingkah saya.
Ia menarik jaket saya dan bertanya “Meh nangndi kowe hah?” (Mau kemana kamu hah?)
“Ampun pak, maaf aku ngga sengaja” 
“Hmm…kowe ra ndelok iki montorku lecet?”  (Hmm…kamu tidak lihat ini motorku lecet?)
“Mana pak? Ah ngga itu ngga lecet”
“Iki lho deloken, lecet putih-putih. Kene tak sita kartu pelajarmu”  (Ini lho, lihat. Lecet putih-putih. Sini kartu pelajarmu aku sita)
“Wah ojo pak, ini kepake”
Lalu teman bapak saya datang, melihat saya dihadang preman itu. Entah mengapa saat itu tidak ada warga yang mau membantu. Apa memang mereka sekongkol untuk “mengerjai” saya sore itu. Teman bapak menolong saya lolos dari preman itu. Saya tidak berani mengadu pada bapak. Takut kalau saya dilarang naik sepeda lagi. Sejak itu ada dua hal yang saya hindari selama beberapa minggu. Lewat pasar dan naik sepeda.Tapi namanya juga cinta, sepeda mini warna merah tetap saya gowes juga.
Sewaktu SMA, saya masih tetap gemar gowes. Intensitasnya memang berkurang. Saya di Yogyakarta, sepeda tetap di Kutoarjo. Sepeda saya naiki jika pulang ke Kutoarjo saja. Pengalaman kala SMA saat bersepeda adalah bersama bapak. Beberapa kali saya gowes berdua bersama bapak. Mengenang romantisme lampau bapak dan ibu. Kami melewati desa-desa dan sawah. Bapak juga senang bersepeda kala itu. Sepeda tuanya, bernama gazelle.
Bapak membawakan sepeda mini merah ke Yogyakarta. Katanya, ini untuk sepedaan saat kuliah. Bapak memang demikian. Begitu perhatian dengan saya. Beberapa kali saya menggunakan sepeda mini merah ke kampus. Ia masih kuat, walaupun umurnya sudah cukup tua.
Bisa dikatakan, saya dan sepeda ini sudah menyatu. Banyak pengalaman yang terukir bersama. Walaupun Uno sudah hadir, tapi saya tetap sayang sepeda merah mini pemberian bapak. Ini sepeda pertama saya. ini sepeda yang mengenalkan saya pada jalan-jalan pelosok. Ini juga sepeda yang membuat saya berani bertatapmuka dengan preman. Mungkin sepeda merah ini akan saya lungsurkan untuk anak atau keponakan. Tidak akan saya jual. Karena sepeda ini kaya akan pengalaman.
  

Komentar

Postingan Populer