Balada Jathilan Jalanan

Sepanjang pagi hingga sore, seorang ibu berpakaian tradisional asik menari di tengah jalan. Wajahnya tetap ayu, sekalipun dandanan corang-coreng melekat di wajahnya. Gerakannya lincah, harmonis dengan bunyi gamelan yang mengalun. Di trotoar dekat lampu lalu lintas, duduk seorang laki-laki separuh baya yang memukul gamelan. Kostumnya hampir senada dengan ibu penari, ia menggunakan batik lurik berwarna hijau.
Paniyem dan Edi, usai njathil di jalan

Kurang lebih pada detik ke 20, ibu itu berhenti menari lalu berjalan menghampiri tiap pengendara motor. Beberapa pengendara menolak memberi sedekah. Pengendara yang memberi pun dapat dihitung dengan jari.
Matur nuwun sanget. Mugi bapak ibu diparingi keslametan, rejeki, lan sukses nggih”, ujarnya ketika ada yang memberi.
Lampu hijau menyala, giliran irama gamelan berhenti mengalun. Ibu dan bapak itu beristirahat sejenak di pinggir jalan. Sembari menunggu kendaraan melaju di lampu lalu lintas. Wajah keduanya terlihat lelah dan berkeringat. Hari itu matahari bersinar terlalu terik.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, saat tepat bagi mereka untuk mengakhiri “pentas” hari itu. Keduanya berkemas, lalu mencari mobil tumpangan di pinggir jalan. Tujuan mereka adalah pulang ke rumah. 
Di Balik Sang Penjathil
Adalah Paniyem (50), ibu penari yang tetap lincah sekalipun umurnya tidak muda lagi. Pemukul gamelan yang juga suaminya itu bernama Edi (48). Keduanya menyebut diri sebagai penjathil (baca: pemain jathilan). Orangtua dari dua anak itu hampir setiap hari beraksi di lampu lalu lintas.
Mereka tinggal di rumah sangat sederhana, hanya berukuran 3x3 meter. Rumah mereka terletak  di sebuah gang, seberang terminal Jombor. Bisa dikatakan, rumah itu sangat sempit bagi tempat tinggal sebuah keluarga. Tikar menjadi pengganti kasur bagi mereka. Barang-barang yang ada di sana tidak tersusun rapi. Beberapa gamelan, kostum, topeng, dan perlengkapan jathilan lain tergantung di dinding.
Mereka belum cukup lama tinggal di sana, baru sekitar tiga tahun. Masa kecil Edi dihabiskan di panti asuhan di Gunung Kidul. Ayah ibunya sudah tidak ada sejak kecil. Sedangkan Paniyem asli dari Yogyakarta, sejak kecil tinggal di Giwangan bersama neneknya. Paniyem memang menyukai kesenian, salah satunya jathilan.
“Kalau saya sih mbak, dari umur 7 tahun sudah dilatih tari lilin mancik(naik) kendi di meja. Dulu mahkotanya pakai daun nangka. Bajunya pakai sarung.Terus kedua, ikut latian ketorpak ikut seni reog dan jathilan juga. Dulu ketoprak jadi mbok mban sama Suminten edan”, cerita Paniyem.
                Sebelumnya Edi tidak punya minat dalam hal seni. Hingga suatu ketika, ia bertemu dengan penjathil asli Temanggung. Ia mengajarkan Edi dasar memukul gamelan hingga mampu menghasilkan iringan yang indah. Edi lebih banyak belajar gamelan secara otodidak.
Tahun 2009 menjadi tonggak awal mereka terjun ke jalanan. Sebelumnya Edi dan Paniyem pernah tinggal di Semarang dan Purwokerto. Di Semarang, Paniyem sempat membuka warung makan soto. Ia memang mahir meracik bahan menghasilkan makanan yang enak. Sedangkan Edi, bekerja sebagai tukang servis elektronik di Purwokerto.

“Kalau saya punya tempat jualan dan modal ya lebih milih jualan. Wong dulu ya buka warung. Tapi sekarang mau kembali udah ndak bisa mbak. Apa-apa udah mahal, ya to? Mudah-mudahan aja, kalau Allah mengijinkan, ada yang ngasih modal sama tempat untuk jualan”, tukas Paniyem.
Menghidupkan Budaya Lokal
Dalam atraksi jathilan, Paniyem memanfaatkan cemeti dan buah kelapa muda sebagai pelengkap. Ia dan suaminya tidak semata-mata asal dalam memilih mata pencaharian. Jathilan dipilih selain karena kemampuan dan minat, juga karena perhatian yang mereka curahkan pada budaya lokal.
“Kalau sekarang ini kan jarang sekali, jathilan. Kami mau nguripke (menghidupkan) kesenian daerah. Kan sekarang kalah sama band-band,  jathilan jarang sekali. Ini kami mau menghidupkan lagi,” ujar Edi.
Lampu merah dijadikan kesempatan bagi pasangan suami istri ini untuk bekerja. Sejak pukul 8 pagi mereka sudah mulai bersiap untuk beraksi di jalan. Kegiatan itu mereka akhiri sekitar pukul 4 sore. Mereka seringkali berpindah-pindah tempat, misalnya di Maguwo, Janti, Jombor, Demak Ijo, dan Kaliurang. Mereka mengakui, jika kesenian jathilan memang sudah banyak ditampilkan di jalanan. Bahkan sesekali antar sesama pemain jathilan berebut ladang untuk mencari nafkah.
 “Kadang rebutan, tapi kalau emang udah dipakai ya sudah tak tinggal cari tempat lain. Itu kan rejeki dari Allah mbak. Saya ndak bisa ngatur, ” ujar Edi.
Penghasilan yang mereka dapat memang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Jumlah yang didapatkan tidak tentu, biasanya sehari bisa dapat Rp 30.000,- sampai Rp 50.000,-. Perolehan itu tergantung dari pengunjung, jika sepi pendapatan akan menurun. Hari Minggu atau hari libur biasanya pendapatan akan meningkat, banyak pengunjung dari luar kota yang datang.
Ditangkap Satpol PP
Pekerjaan yang mereka tekuni memang cukup menantang. Untuk turun dan mencari nafkah di jalanan membutuhkan keberanian dan mental yang kuat. Keduanya memang tidak pernah bermasalah dengan preman atau pengamen lain di jalan. Hanya saja, Satpol PP kerap menjadi pihak yang kontra akan kehadiran mereka. “Pentas” jathilan itu dianggap mengganggu.
Tak jarang mereka tertangkap Satpol PP yang sedang melakukan razia mendadak.  Atraksi yang mereka tunjukkan di jalanan bahkan pernah diakhiri Satpol PP, sebelum mereka mendapatkan penghasilan. Peralatan jathilan mereka pun pernah disita oleh Satpol PP.
“Sudah pernah gamelan disita sama Satpol PP. saya minta tolong, saya itu orang ndak punya sungguh-sungguh. Kalau ndak boleh njathil, saya minta modal sama tempat untuk jualan. Tapi ndak ditanggepi”, ujar Paniyem.
Perangkat gamelan yang ditahan oleh Satpol PP rupanya tidak dapat mereka ambil kembali. Satpol PP bahkan tidak mau tahu soal penyitaan itu.
“Pas mau ambil gamelan, saya dilempar ke sana kemari. Lha gimana, rakyat kecil suru makan apa, cari kerja juga susah. Kalau ditangkepi terus nanti malah banyak kejahatan”, kata Edi.
Meski Tua, Tetap Semangat
Keduanya tidak punya pilihan lain selain mencari nafkah di jalanan. Sekalipun umur mereka sudah tua, namun semangat tetap membara. Keduanya tetap berjuang mencari nafkah, demi menyekolahkan anak-anak.
“Ibu dan bapak orang ndak punya, rumah juga ndak punya, tapi ibu bapak tetap semangat bekerja supaya anaknya ndak kelaparan dan bisa sekolah”, ujar Paniyem.
Mereka masih berharap adanya rejeki yang lebih suatu hari nanti. Jika mendapat modal dan tempat, tentunya mereka akan lebih memilih membuka usaha sendiri. Keduanya menyadari, pekerjaan itu tidak akan menjadi gantungan hidup selamanya.
“Kadang tu saya sampai doa gini, lah mbok ya muga wae entuk rejeki seka endi nggo dodol, ben uripe kepenak”, harap Paniyem.  

Komentar

Postingan Populer